Doktor lulusan Radboud University ini mengungkapkan politisasi agama merupakan salah satu strategi komunikasi politik tertinggi, mulainya masuk dari interpersonal lalu bersahut-sahutan dengan komunikasi intrapersonal yang membuat pertahanan batin seseorang menjadi lemah. Salah satu ciri penggunaan politisasi agama adalah adanya klaim-klaim penderitaan dan ketidakadilan yang dikaitkan dengan unsur dan nilai agama.
Effendi berpendapat sulit untuk memerangi politisasi agama di era keterbukaan informasi ini. Menurutnya, aspek religius merupakan bagian dari kehidupan, tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan sosial dan politik. Untuk itu, ia menyerukan nilai nilai kebangsaan dan agama tetap harus diutarakan secara sejuk berbarengan di dalam politik.
“Komunikasi religiusitas kini tumbuh sebagai bidang ilmu yang terus menggali itu. Isu-isu ini harus didiskusikan dan tidak dibiarkan ditaruh di bawah karpet,” kata Effendi.
Effendi menegaskan pentingnya membangun narasi dan diskusi positif baik di lingkungan rumah, kampus maupun di dunia maya untuk mengimbangi narasi negatif yang disebar oleh oknum penyebar politisasi agama. Selain itu, dibutuhkan peran tokoh agama dan tokoh masyarakat dalam menjaga stabilitas sosial dan menguatkan persatuan anak bangsa. “Amat penting mengajak tokoh-tokoh ulama yang dalam, sejuk, dan diterima rakyat,” katanya.
Selain itu, lelaki kelahiran Padang, 5 Desember 1966 ini juga menyatakan pentingnya mengedukasi generasi muda agar lebih peka terhadap bahaya politisasi agama dalam narasi politik. Dibutuhkan kedewasaan dalam mencari dan mengelola informasi di media sosial.
“Media sosial kata kunci bagi generasi muda, kita ajak sebagian anak muda menjadi peduli dengan isu ini,” kata Effendi.
(abd)