Headline

Implikasi Politik Hukum Pidana Pasca UU KUHP Nomor 1 Tahun 2023

24
×

Implikasi Politik Hukum Pidana Pasca UU KUHP Nomor 1 Tahun 2023

Share this article
Implikasi Politik Hukum Pidana Pasca UU KUHP Nomor 1 Tahun 2023


loading…

Romli Atmasasmita. FOTO/DOK.SINDOnews

JAKARTAPOLITIK hukum pidana Indonesia (akan) mengalami perubahan mendasar meninggalkan politik hukum pidana warisan pemerintah kolonial Belanda yang telah berlaku selama 78 tahun lampau. Politik hukum pidana yang diwariskan Belanda mengutamakan tujuan penjeraan terhadap pelaku kejahatan atau penghukuman. Hal ini tampak dari pembagian jenis pidana (Pasal 10 KUHP): pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda dan pidana tutupan. Di samping keempat jenis pidana tersebut yang merupakan pidana pokok, terdapat pidana tambahan yang diputuskan hakim yang meliputi: pencabutan hak tertentu terdakwa, perampasan barang tertentu, dan pengumuman putusan hakim.Ketujuh jenis pidana di dalam KUHP Tahun 1946 yang diberlakukan di seluruh Indonesia dengan UU Nomor 73 Tahun 1958 telah mengalami masa daluarsa sehubungan dengan perkembangan masyarakat internasional, terutama setelah Konvenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil, Hak Politik, Hak Ekonomi dan Hak Hukum, telah diadopsi dan terbuka untuk diratifikasi oleh Anggota PBB pada Tahun 1966. Indonesia telah meratifikasi konvenan tersebut dengan UU Nomor 12 tahun 1955. Perubahan pandangan masyarakat internasional dan ratifikasi Konvensi PBB Anti Korupsi 2003 menuntut perubahan politik hukum pidana Indonesia di masa yang akan datang.

KUHP 1946 yang masih berlaku dan akan berakhir pada tahun 2026 yang akan datang, belum memberikan perlindungan hukum yang memadai, baik bagi tersangka/terdakwa dan terpidana begitu pula terhadap korban, di dalam kehidupan masyarakat. Contoh konkret dalam praktik peradilan pidana khususnya dalam hal penetapan tersangka di dalam KUHP dan KUHAP belum diatur secara khusus sanksi atas kelambatan prosedur untuk melengkapi BAP dari penyidik kepada kejaksaan setelah diterima oleh kejaksaan dalam tempo waktu 7 (tujuh) hari; dalam Pasal 138 KUHAP. Dalam hal kasus FB, mantan Ketua KPK proses tersebut telah dilampaui selama 8 (delapan) bulan atau 240 hari sejak diterimanya berkas hasil penyidikan dari kejaksaan.

Contoh kedua, pemeriksaan tahap penyelidikan yang menurut KUHAP diterangkan bahwa tahap tersebut untuk menemukan ada/tidaknya suatu peristiwa pidana oleh penyelidik; jika ditemukan bukti permulaan yang cukup, penyidik meningkatkan ke tahap penyidikan untuk menentukan siapa yang akan ditetapkan sebagai tersangka. Tenggat waktu perpindahan dari tahap penyelidikan ke tahap penyidikan tidak ditentukan batas waktu, sehingga seorang saksi harus menunggu lama tanpa kepastian apakah penyelidikan lanjut ke penyidikan; dalam praktik hal tersebut sangat digantungkan kepada diskresi penyelidik dan penyidik yang sering berakhir dengan ketidakpastian perlindungan hukum bagi baik seorang saksi dan seorang yang telah ditetepkan sebagai tersangka. Kebiasaan praktik di KPK, perpindahan status saksi kepada tersangkan telah dimulai sejak akhir proses penyelidikan tidak pada tahap akhir dari proses penyidikan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *