Untuk itu menurutnya penanganan pidana ideologi harus hati-hati. “Ketika tindak pidana ini negara terlalu over reaktif atau over kriminal. Maka bukan bikin takut malah bikin lancar. Perlu juga dicermati soal pengkhianatan, penghasutan, mengancam ketertiban umum,” katanya.
Eva menjelaskan tidak mudahnya mempidanakan ideologi dengan mengambil contoh hukuman mati Imam Samudra yang justru menginspirasi jaringannya. Selain itu dijelaskan juga tentang Socrates yang dihukum mati karena ideologinya tapi pikirannya masih dipakai sampai sekarang, demikian juga Copernicus yang dihukum mati karena teori heliosentrisnya tapi teori tersebut terus dipakai.
“Ada yang perlu dicermati juga jika pasal 188-190 ini diterapkan sebagai ordinary crime sementara terorisme extraordinary crime maka bagaimana dengan lapas super maximum security?” tuturnya.
Ketua Program Doktor SKSG UI Margaretha Hanita kembali mengungkapkan disertasi yang pernah disusunnya tentang makar organisasi terkait Papua Merdeka. Dia mengatakan pada level tertentu seseorang yang dipidana dengan kejahatan makar justru meningkatkan keterkenalan dan pengaruh di kelompoknya. “Kita perlu cermat (menempatkan) mana makar mana terorisme,” katanya.
Dalam bagian penjelasan UU No 1/2023, sebenarnya pasal 188, 189, dan 190 telah ada. Namun dalam diskusi kelompok terpumpun yang diselenggarakan SKSG UI terlihat masih perlunya penjelasan lebih detail. Penjelasan mengenai pembuktian unsur delik, hingga lembaga yang memiliki kewenangan sebagai penginterpretasi Pancasila sangat diperlukan.
(poe)